Tak Semua Perjuangan Kita Dihargai Orang Terdekat, Termasuk Keluarga Sendiri

hamil kosong

Fimela.com, Jakarta Tak pernah ada yang bisa baik-baik saja saat terjebak dalam hubungan yang beracun (toxic relationship). Baik dalam hubungan keluarga, kerja, pertemanan, hingga hubungan cinta, terjebak dengan seseorang yang memberi kita luka jelas membuat kita menderita. Namun, selalu ada cara dan celah untuk bisa lepas dari hubungan yang beracun tersebut. Selalu ada pengalaman yang bisa diambil hikmahnya dari hal tersebut. Simak kisah Sahabat Fimela berikut yang diikutsertakan dalam Lomba Let Go of Toxic Lover ini untuk kembali menyadarkan kita bahwa harapan yang lebih baik itu selalu ada.
Sempat terlintas di pikiranku bahwa aku tak lagi menginginkan hidup ini. Bak dalam sebuah film dengan tokoh-tokoh pemainnya, aku serasa selalu mendapatkan peran pembantu. Apa yang kulakukan tak pernah cukup berarti untuk sekitar terutama orang-orang terdekatku. Setidaknya persepsi inilah yang terbentuk beberapa tahun belakangan ini di benakku.
Tak pernah mudah memang jika kita dilahirkan dalam sebuah keluarga besar. Ayah pernah menikah dan tak mendapatkan anak, mungkin karena alasan ini, ketika berkeluarga dengan ibuku, ayah jor-joran sampai mendapatkan sembilan anak. Seperti di keluarga besar lainnya, tugas mengurus adik akan didelegasikan kepada anak-anak yang lebih tua.
Aku terbiasa memomong adik-adik ketika orangtuaku mengais rezeki di sepetak sawah kami. Mungkin karena alasan ekonomi juga, aku harus mengubur mimpiku menjadi perawat dan berhenti sekolah di SMP. “Adik-adikmu harus terus sekolah, Nak," bisik ibu ketika kami mengantarkan adik perempuanku ke asrama perawat untuk melanjutkan pendidikannya. Ya baik aku atau adik yang jadi orang, kan sama saja, kataku pada diri sendiri untuk menawarkan perih di hati.

Merawat Ibu

Ilustrasi bunga dari kertas
Ilustrasi./(Sumber: Istockphoto)
Besar keinginanku untuk melanjutkan hidup, bekerja di tempat yang jauh lalu membangun sebuah keluarga. Namun masih kuingat jelas kejadian sore itu, “Cari perempuan lain saja. Nggak bisa dipakai dia itu, pemalas,” suara kakak iparku terderdengar sayup namun cukup jelas pada keluarga calon suamiku. Mereka pun tak pernah lagi datang untuk melanjutkan pertunangan kami. Ingin rasanya kumaki kakak iparku namun aku tak ingin ada keributan di rumah kami. Seperti biasanya aku hanya bisa memendam dan diam.
Keinginanku untuk keluar dari rumah harus kembali pupus sepeninggal ayah kami. Ibu yang sakit-sakitan tentu tak bisa lagi bekerja, sementara ada tiga orang lagi adikku yang masih sekolah. Pendidikan yang rendah membuatku sulit mendapat pekerjaan namun ada saja cara Tuhan menunjukkan penyertaannya.
Aku meminjam modal dari seorang pedagang dan membeli bibit-bibit ayam potong. Demikian lah tiap harinya seorang gadis muda harus bolak balik membuang berkantong-kantong kotoran ayam. Pekerjaan tersebut kulakoni sembari merawat ibu yang semakin parah dari hari ke hari. Setiap hari kutemui gumpalan darah seperti potongan tahu di lantai kamar mandi. Dokter pun tak bisa memberikan penjelasan mengenai apa sebenarnya penyakit ibu.
Hasil USG hanya menunjukkan bulatan-bulatan hitam seperti gumpalan angin di perut ibu. Semua kujalani seorang diri, adik-adik yang kuperjuangkan seolah sibuk dengan hidupnya masing-masing. Jangankan membantu biaya, bertanya saja pun tidak. Seperti tak cukup sampai di situ, kakak iparku kembali berulah dengan mulutnya. Dia menyebarkan ke tetangga dan keluarga besar jika aku tak pernah membawa ibu berobat, seolah kondisi ibu yang semakin memburuk adalah dikarenakan ulah dan keras kepalaku. Aku sudah terlalu lelah bahkan untuk sekadar menjelaskan pada mereka semua. Biarlah mereka mau berkata apa, yang penting aku sudah menjalankan peranku sebagai anak.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel